Sabtu, 22 Agustus 2009

sistim politik batak
Pada saat konfrontasi kekuatan penjajah dan pasukan Sisingamangaraja, tidak ada pembahasan di dunia ilmiah, tentang apakah Sisingamangaraja itu seorang pemimpin negara dan pemerintahan atau hanya seorang pemimpin yang kerdil.Pada saat itu, semua bangsa khususnya yang di Sumatera, menganggap bahwa Kerajaan Batak di bawah Dinasti Sisingamangaraja merupakan sebuah nation yang mempunyai kedaulatan dan pemerintahan. Bahkan sejarah mencatat bahwa Kerajaan ini merupakan kerajaan terakhir yang takluk kepada penjajah sebelum Aceh.Pembahasan mengenai sistem politik Batak menjadi sangat rancu saat kekuatan kolonial Belanda berhasil merasuki setiap sum-sum dan urat nadi sistem sosial dan budaya Batak. Belandaisasi dan Eropaisasi segala struktur sosial Batak bahkan berhasil membuat orang Batak sendiri untuk meragukan keberadaan sejarah Bangsa Batak. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Sejarah Sisingamangaraja merupakan mitos belaka.Saat itulah tumbuh sebuah pemahaman politik yang bernama “teori state tendency” yang kira-kira menggambarkan bahwa kerajaan Batak Dinasti Sisingamangaraja tidaklah layak disebut sebagai sebuah state, nation, negara atau apapun itu dalam istilah politik. Tapi, sebuah komunitas yang berevolusi yang hampir saja menjadi sebuah negara namun belum layak menjadi sebuah negara. Teori ini didukung dengan asumsi bahwa sebenarnya Sisingamangaraja XII belum dan tidak pernah mempunyai pasukan atau Tentara Nasional yang reguler. Teori ini banyak dianut oleh ahli sejarah Batak, bahkan mereka yang berasal dari pribumi. Adanya teori ini menunjukkan adanya ambivalensi dan konflik moral kolektif di antara para sarjana Batak. Yang dipicu dengan frustasi yang luar biasa dengan kemisteriusan Sisingamangaraja sendiri.Puluhan tahun Sisingamangaraja XII bergerilya dari Dairi sampai akhirnya ditembak pada tahun 1907. Selama puluhan tahun itu pulalah banyak orang yang sudah lupa dan tidak ingat dengan eksistens Sisingamangaraja dan pemerintahannya. Sejarah ini semakin kabur saat sanak keluarga Sisingamangaraja XII, dikumpulkan paska-kematian Raja dan dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan kebiasaan mereka. Anak-anak yang lugu dan tidak pernah mengenal ayahnya itu tidak sedikitpun dapat menggambarkan apa dan diapa ayahnya.Sebenarnya untuk menentukan sebuah polity, apakah itu negara atau tidak sangatlah mudah. Semuanya harus sesuai dengan empat syarat. Pertama adanya pemerintah, kedua, ada rakyat, ketiga ada wilayah dan keempat adanya pengakuan Internasional.PemerintahanPemerintahan Sisingamangaraja XII perpusat di Bakkara. Eksistensi pemerintahan ini setidaknya masih eksis sebelum akhirnya Raja dengan pengawalan para pasukan khusus dari Aceh terpaksa mengungsi ke ibukota kedua kerajaan Batak di Dairi atau tepatnya Pearaja di Parlilitan.Pemerintahan juga mempunyai beberapa pembantu raja yang disebut Pendeta Raja. Baligeraja (Sorimangaraja), Ompu Palti Raja dan Jonggi Manaor. Di lain pihak terdapat juga beberapa panglima dan kepala hulu balang.Para hulu balang yang berfungsi sebagai birokrasi pemerintahan tidak saja berfungsi untuk mengamankan negeri tapi juga mengumpulkan pajak dari pusat-pusat roda pemerintahan kerajaan. Saat Raja mengungsi, dikhabarkan turut juga diangkut dari Bakkara keuangan negara berupa emas dan keping uang yang diangkut dengan puluhan kuda ke Bakkara.Secara resmi memang, Sisingamangaraja tidak mempunyai pasukan reguler. Namun, dia mempunyai loyalitas dari rakyat yang dapat dimobilisasi seketika. Banyak negara di dunia, bahkan sampai sekarang di kepulauan Pasifik, di mana tidak ada tentara regulernya. Hanya beberapa orang polisi dan birokrasi. Namun itu tidak menandakan bahwa negara tersebut bukanlah sebuah negara. Yang pasti keberadaan tentara rerguler bukanlah syarat bahwa sebuah negara berdiri. Satu hal yang dipastikan adalah bahwa terbukti tentara Sisingamangaraja XII berhasil menahan dan mengimbangi pasukan penjajah Belanda sampai tahun 1907.Semi-FederalismeHubungan antara ibukota pemerintahan dengan huta-huta, bius dan horja dilakukan dengan hubungan sistem semi-federalisme. Dimana sebuah sub-polity, mempunyai otonomi yang luas dengan kedaulatan yang berada di Bakkara. Sub-polity tersebut, telah mempunyai kedaulatan sejak dahulu kala dan kemudian dengan kesadaran politik untuk membangun keamanan dan melindungi segenap rakyat pada abad pertengahan, semua kedaulatan disatukan di tangan Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara. Walaupun begitu setiap sub-polity tersebut masih mempunyai kewenangan dalam mengurusi dan administrasi wilayahnya.Disebut semi-federalisme dan bukan federalisme karena dalam kerajaan Batak terdapat nilai-nilai negara kesatuan. Nilai negara kesatuan tersebut tercermin dari terpusatnya struktur legislasi (adat), eksekutif (dalam urusan ke luar negeri dan sebagain dalam negeri) dan yudikatif. Semua permasalahan, khususnya inter-sub polity akan diselesaikan di Bakkara. Atau dalam beberapa kesempatan di selesaikan di Onan Raja, Balige saat semua roda perekonomian rakyat terpusat di Balige. Para pejabat di sub-polity diangkat atas persetujuan raja.KedaulatanTeori dan prinsip kedaulatan di tanah Batak telah mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi zaman. Banyak kerajaan-kerajaan Batak yang mempunyai kedaulatan yang bersifat unilateral atau absolut. Di mana kedaulatan berada dalam tampuk Sultan atau Raja yang kemudian didelegasikan ke beberapa wilayah dalam bentuk perintah dan otoritas yang diratifikasi oleh pemegang kedaulatan. Contohnya adalah Kesultanan Barus dan beberapa kerajaan Batak lainnya dimana kedaulatan yang absolut berada di tangan Raja atau Sultan karena dia diyakini merupakan pemilik awal kerajaan dan huta yang kemudian berdomisili di dalamnya banyak orang. Kedaulatan seperti ini bersifat permanen karena kedaulatan itu sendiri tumbuh dari Raja dan Sultan dan hanya dia yang berhak menggunakannya.Sementara itu, kedaulatan yang ada pada Kerajaan Batak Sisingamangaraja XII, bersifat pluralis. Karena huta-huta atau polity-polity di tanah Batak terlebih dahulu eksis. Namun karena satu sama lain sering terjadi konflik, kompetisi dan perang akhirnya dicapailah sebuah kompromi dengan pengakuan terhadap Manghuntal sebagai Sisingamanraja I yang menjadi Raja pengayom dan penjamim hak-hak azasi seluruh tanah Batak yang membaiatnya menjadi Raja.Kedaulatan polity-polity tersebut akhirnya dipegang oleh satu kekuasaan tertinggi. Mirip dengan kondisi Leviatan ala Hobbes dengan hipotesanya tentang kondisi everlasting war antar kelompok rakyat yang pada akhirnya timbul kesadaran untuk melangkah maju dengan menyerahkan kedaulatan kelompok mereka kepada raja agar menjadi penjamin dan pemelihara kedamaian. Kedaulatan ini dicapai melalui konsensus umum atau perjanjian umum.Dalam kronik Raja-raja Barus bahkan disebutkan ketika Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang akan pergi ke Barus dari Tarusan, tiba-tiba mengalami kecelakaan di Batu Mundam. Dari sana mereka meneruskan perjalanan melalui darat ke Silindung. Di Silindung, Sultan bersama seribu orang pengawalnya menemukan sebuah komunitas Batak yang kosong dengan penguasa. Orang-orang Silindung tersebut akhirnya dengan penuh kesadaran meminta Sultan untuk tinggal di Silindung menjadi raja mereka. Permintaan tersebut dibuat selain karena kesadaran untuk memajukan daerahnya juga untuk menjamin keamanan dan hak-hak dasar manusia dari rongrongan perbudakan asing, perampokan dan perang antar huta yang terjadi secara intensNamun Sultan menolak dengan halus dan mengangkat Raja Berempat dari para pengawalnya untuk menjadi pemimpin dan penguasa di tempat tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Raja Berempat inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Manghuntal paska kenaikannya dalam tampuk kekuasaan menjadi Lembaga Raja Na Opat. Sultan dikabarkan terus berangkat menuju Barus melalui Bakkara dan di Bakkara mereka juga menemukan kondisi masyarakat yang sama.RakyatRakyat kerajaan adalah mereka yang berdomisili dalam kerajaan Batak. Atau paling tidak dalam wilayah yang tidak diklaim oleh kerajaan lain. Dalam sebuah perjanjian antara Sisingamangaraja dan Aceh dikatakan bahwa wilayah Singkil diangkui Sisingamangaraja dalam pengaruh Sultan Aceh dan Sultan Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja atas wilayah Karo. Perjanjian ini secara yuridis formal merupakan upaya kedua kerajaan dalam mendefinisikan dan pengklasifikasian rakyat dalam kedaulatan mereka. WilayahWilayah kerajaan sangat jelas. Semua tanah Batak dengan ibukota Bakkara. Untuk batas-batas kenegaraan dapat dilihat perjanjian antara Kerajaan dengan Aceh, antara Kerajaan dengan Kesultanan Barus, yang dikenal dengan Hatorusan dan perjanjian dengan beberapa negara lainnya.Pengakuan InternasionalKerajaan Sisingamanagraja XII tentunya mendapat pengakuan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Bebebrapa surat perjanjian diplomasi antara Aceh dan Batak telah banyak ditemukan. Bahkan antara kedua kerajaan telah terjadi kerjasama budaya dan alih teknologi.Stempel, sistem pasukan, bendera dan sistem kerajaan diyakini telah banyak diserap oleh pemerintahan Sisingamangaraja XII dari Aceh.Selain dengan Aceh, hubungan antara Kerajaan Batak dengan Kesultanan Asahan juga terjalin dengan mesra. Bahkan Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.Pengakuan dari Kerajaan Barus (Hatorusan) juga ada. Sekarang ini surat-surat kenegaraan antar dua kerajaan telah banyak ditemukan. Yang lengkap dibubuhi dengan stempel, bendera dan lain sebagainya.Disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan melayu nusantara telah banyak melakukan hubungan diplomasi dengan Batak, yang menandakan pengakuan meraka akan kedaulatan Batak. Kerajaan Batak Lainnya: Globalisasi Regional dan InternasionalismeSebenarnya teori “state tendecy” merupakan teory yang sangat gegabah. Di dalamnya tersembunyi kesan penyederhanaan masalah yang dipaksakan dan juga generalisasi yang menyesatkan. Tampak teori ini sengaja dimunculkan untuk melegalisasi dan menjustifikasi penjajah Belanda dan elemen-elemen Eropanya. Dengan bergulirnya teori ini maka penjajahan tersebut nampak sebagai sebuah “pencerahan” terhadap sebuah bangsa “primitif” yang bersifat stateless dan tak berbudaya. Sadar atau tidak asumsi ini sangat kontradiktif dengan fakta-fakta sejarah.Pertama adalah bahwa kerajaan Batak Dinasti Sisingamangaraja memang memenuhi syarat sebagai negara dan yang kedua bahwa terdapat banyak kerajaan Batak yang telah lebih dulu bersifat modern dan bahkan layak disebut sebagai negara modern.Contoh-nya adalah Kesultanan Barus (Hatorusan dan Hulu) yang mempunyai sistem dual-government, yang mendapat pengakuan dari beberapa negara dan bahkan oleh VOC sebelum mereka bangkrut. Kesultanan ini, mempunyai bendera, stempel kerajaan, kementrian, perdana menteri, konstitusi, istana negara, lembaga-lembaga peradilan dan sosial dan lain sebagainya. Walaupun eksistensinya telah dipunahkan oleh penjajah Belanda, namun tidaklah sebuah tindakan yang bijak untuk menghilangkannya dari peta. Karena penjajahan itu sendiri adalah illegal dan segala yang illegal tidak layak diakui sebagai sebuah justifikasi atas keberadaan dan kelenyapan sebuah negeri.Contoh lainnya adalah Kesultanan Lingga yang sampai sekarang masih eksis di Riau dan dulunya merupakan kerajaan yang didirikan oleh Raja Lingga XIII sebagai benteng luar melindungi Kerajaan Johor.Orang-orang Batak dengan berbagai kerajaan berdaulat yang berhasil mereka dirikan di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau, sebenarnya telah mengalami sebuah globalisasi regional. Di satu sisi mereka terikat dengan loyalitas mereka kepada nationality atau kewarganegaraan di mana mereka menetap namun di pihak lain sesama masyarakat Batak, hubungan ekonomi dan politik dapat berlangsung sebegitu eratnya melebihi batas-batas nasionalitas yang dibutuhkan oleh formalitas sebuah negara. Bila globalisasi diartikan sebagai sebuah tendency masyarakat borderless, maka orang Batak telah mengalaminya terlebih dahulu antara abad pertengah sampai abad ke-18 sebelum bercokolnya si Penjajah.Nilai-nilai lainnya yang dipegang oleh orang Batak saat itu adalah nilai Internasionalisme yang sangat kuat dan mengakar. Loyalitas individu dan masyarakat bisa saja secara yuridis formal diberikan kepada sebuah lembaga pemerintahan yang berkuasa, namun orang Batak sangat sadar bahwa sebuah komunitas walau itu yang memiliki faham splendid isolation sekalipun tidak akan dapat hidup secara egois tanpa interaksi dengan masyarakat internasional. Internasionalisme di sini berarti bahwa orang Batak sangat sadar bahwa manusia di bumi ini atau di portibi on, merupakan layaknya sebuah huta, bius atau horja. Di mana setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan oleh adat dalam hal ini oleh hukum-hukum internasional. Jadi tempat manusia hidup di Bumi adalah huta internasional atau huta portibi. Oleh karena itulah, orang Batak dari dahulu kala sangat yakin bahwa Tuhan dari segala manusia (tanpa pandang bulu) adalah Mulajadi Na Bolon yang kira-kira bermakna Tuhan Yang Maha Besar.
Tags:
Prev: Batak RadioNext:
Bank Tarombo
Harian Sinar Indonesia Baru
Harian Waspada
Kamus Bahasa Batak Indonesia
Kartun Batak
Musik Batak
Partungkoan Tano Batak
Silaban Brotherhood
Tarombo
Piso Halasan

Selasa, 18 Agustus 2009

Sejarah Marga Batak

SILSILAH ATAU TAROMBO BATAK
SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu:
1. Guru Tatea Bulan
2. Raja Isombaon
GURU TATEA BULAN
Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :
* Putra (sesuai urutan):
1. Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng), tanpa keturunan
2. Tuan Sariburaja (keturunannya Pasaribu)
3. Limbong Mulana (keturunannya Limbong).
4. Sagala Raja (keturunannya Sagala)
5. Silau Raja (keturunannnya Malau, Manik, Ambarita dan Gurning)
*Putri:
1. Si Boru Pareme (kawin dengan Tuan Sariburaja, ibotona)
2. Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon
3. Si Boru Biding Laut
4. Si Boru Nan Tinjo (tidak kawin).
Tatea Bulan artinya “Tertayang Bulan” = “Tertatang Bulan”. Raja Isombaon (Raja Isumbaon)
Raja Isombaon artinya raja yang disembah. Isombaon kata dasarnya somba (sembah). Semua keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas 2 golongan besar:
1. Golongan Tatea Bulan = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan. Disebut juga golongan Hula-hula = Marga Lontung.
2. Golongan Isombaon = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga Golongan Boru = Marga Sumba.
Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera Si Singamangaraja, para orangtua menyebut Sisimangaraja, artinya maha raja), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan Si Raja Batak.
PENJABARAN
* RAJA UTI
Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng). Raja Uti terkenal sakti dan serba bisa. Satu kesempatan berada berbaur dengan laki-laki, pada kesempatan lain membaur dengan peremuan, orang tua atau anak-anak. Beliau memiliki ilmu yang cukup tinggi (kira-kira 175 cm), eperti orang barat. Karena itu, dalam memimpin Tanah Batak, secara kemanusiaan Beliau memandatkan atau bersepakat dengan ponakannya/Bere Sisimangaraja, namun dalam kekuatan spiritual etap berpusat pada Raja Uti.
* SARIBURAJA
Sariburaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis, satu peremuan satunya lagi laki-laki).
Mula-mula Sariburaja kawin dengan Nai Margiring Laut, yang melahirkan putra bernama Raja Iborboron (Borbor). Tetapi kemudian Saribu Raja mengawini adiknya, Si Boru Pareme, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest.
Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu Limbong Mulana, Sagala Rraja, dan Silau Raja, maka ketiga saudara tersebut sepakat untuk mengusir Sariburaja. Akibatnya Sariburaja mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan Si Boru Pareme yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, tetapi di hutan tersebut Sariburaja kebetulan bertemu dengan dia.
Sariburaja datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi “istrinya” di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan Si Boru Pareme di dalam hutan. Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang diberi nama Si Raja Lontung.
Dari istrinya sang harimau, Sariburaja memperoleh seorang putra yang diberi nama Si Raja Babiat. Di kemudian hari Si Raja Babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga Bayoangin.
Karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya, Sariburaja berkelana ke daerah Angkola dan seterusnya ke Barus.
SI RAJA LONTUNG
Putra pertama dari Tuan Sariburaja. Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu:
* Putra:
1.. Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.
2. Sinaga Raja, keturunannya bermarga Sinaga.
3. Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.
4. Toga Nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.
5. Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.
6. Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.
7. Siregar, keturunannya bermarga Siregar.
* Putri :
1. Si Boru Anakpandan, kawin dengan Toga Sihombing.
2. Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.
Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing Simamora.
Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu.
Dari keturunan Situmorang, lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.
SINAGA
Dari Sinaga lahir marga-marga cabang Simanjorang, Simandalahi, Barutu.
PANDIANGAN
Lahir marga-marga cabang Samosir, Pakpahan, Gultom, Sidari, Sitinjak, Harianja.
NAINGGOLAN
Lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Lumban Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.
SIMATUPANG
Lahir marga-marga cabang Togatorop (Sitogatorop), Sianturi, Siburian.
ARITONANG
Lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare.
SIREGAR
Llahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.
* SI RAJA BORBOR
Putra kedua dari Tuan Sariburaja, dilahirkan oleh Nai Margiring Laut. Semua keturunannya disebut Marga Borbor.
Cucu Raja Borbor yang bernama Datu Taladibabana (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :
1. Datu Dalu (Sahangmaima).
2. Sipahutar, keturunannya bermarga Sipahutar.
3. Harahap, keturunannya bermarga Harahap.
4. Tanjung, keturunannya bermarga Tanjung.
5. Datu Pulungan, keturunannya bermarga Pulungan.
6. Simargolang, keturunannya bermarga Imargolang.
Keturunan Datu Dalu melahirkan marga-marga berikut :
1. Pasaribu, Batubara, Habeahan, Bondar, Gorat.
2. Tinendang, Tangkar.
3. Matondang.
4. Saruksuk.
5. Tarihoran.
6. Parapat.
7. Rangkuti.
Keturunan Datu Pulungan melahirkan marga-marga Lubis dan Hutasuhut.
Limbong Mulana dan marga-marga keturunannya
Limbong Mulana adalah putra ketiga dari Guru Tatea Bulan. Keturunannya bermarga Limbong yang mempunyai dua orang putra, yaitu Palu Onggang, dan Langgat Limbong. Putra dari Langgat Limbong ada tiga orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga Sihole, dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga Habeahan. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu Limbong.
SAGALA RAJA
Putra keempat dari Guru Tatea Bulan. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga Sagala.
SILAU RAJA
Silau Raja adalah putra kelima dari Guru Tatea Bulan yang mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Malau
2. Manik
3. Ambarita
4. Gurning
Khusus sejarah atau tarombo Ambarita Raja atau Ambarita, memiliki dua putra:
I. Ambarita Lumban Pea
II. Ambarita Lumban Pining
Lumban Pea memiliki dua anak laki-laki
1. Ompu Mangomborlan
2. Ompu Bona Nihuta
Berhubung Ompu Mangomborlan tidak memiliki anak/keturunan laki-laki, maka Ambarita paling sulung hingga kini adalah turunan Ompu Bona Nihuta, yang memiliki anak laki-laki tunggal yakni Op Suhut Ni Huta. Op Suhut Nihuta juga memiliki anak laki-laki tunggal Op Tondolnihuta.
Keturunan Op Tondol Nihuta ada empat laki-laki:
1. Op Martua Boni Raja (atau Op Mamontang Laut)
2. Op Raja Marihot
3. Op Marhajang
4. Op Rajani Umbul
Selanjutnya di bawah ini hanya dapat meneruskan tarombo dari Op Mamontang Laut (karena keterbatasan data. Op Mamontang Laut menyeberang dari Ambarita di Kabupaten Toba Samosir saat ini ke Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Hingga tahun 2008 ini, keturunan Op Mamontang laut sudah generasi kedelapan).
Op Mamontang Laut semula menikahi Boru Sinaga, dari Parapat. Setelah sekian tahun berumah tangga, mereka tidka dikaruniai keturunan, lalu kemudian menikah lagi pada boru Sitio dari Simanindo, Samosir.
Dari perkawinan kedua, lahir tiga anak laki-laki
1. Op Sohailoan menikahi Boru Sinaga bermukim di Sihaporas Aek Batu
Keturunan Op Sohailoan saat ini antara lain Op Josep (Pak Beluana di Palembang)
2. Op Jaipul menikahi Boru Sinaga bermukin di Sihaporas Bolon
Keturunan antara lain J ambarita Bekasi,
3. Op Sugara atau Op Ni Ujung Barita menikahi Boru Sirait bermukim di Motung, Kabupaten Toba Samosir.
Keturunan Op Sugara antara lain penyanyi Iran Ambarita dan Godman Ambarita
TUAN SORIMANGARAJA
Tuan Sorimangaraja adalah putra pertama dari Raja Isombaon. Dari ketiga putra Raja Isombaon, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :
1. Si Boru Anting Malela (Nai Rasaon), putri dari Guru Tatea Bulan.
2. Si Boru Biding Laut (nai ambaton), juga putri dari Guru Tatea Bulan.
c. Si Boru Sanggul Baomasan (nai suanon).
Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Djulu (Ompu Raja Nabolon), gelar Nai Ambaton.
Si Boru Biding Laut
Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar Nai Suanon.
Nai Ambaton (Tuan Sorba Djulu/Ompu Raja Nabolon)
Nama (gelar) putra sulung Tuan Sorimangaraja lahir dari istri pertamanya yang bernama Nai Ambaton. Nama sebenarnya adalah Ompu Raja Nabolon, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga Nai Ambaton menurut nama ibu leluhurnya.
Nai Ambaton mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Simbolon Tua, keturunannya bermarga Simbolon.
2. Tamba Ttua, keturunannya bermarga Tamba.
3. Saragi Tua, keturunannya bermarga Saragi.
4. Munte Tua, keturunannya bermarga Munte (Munte, Nai Munte, atau Dalimunte).
Dari keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku “Tarombo Marga Ni Suku Batak” karangan W. Hutagalung):
SIMBOLON
Lahir marga-marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Nahampun, Pinayungan. Juga marga-marga Berampu dan Pasi.
TAMBA
Lahir marga-marga Siallagan, Tomok, Sidabutar, Sijabat, Gusar, Siadari, Sidabolak, Rumahorbo, Napitu.
SARAGI
Lahir marga-marga Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke.
MUNTE
Lahir marga-marga Sitanggang, Manihuruk, Sidauruk, Turnip, Sitio, Sigalingging.
Keterangan lain mengatakan bahwa Nai Ambaton mempunyai dua orang putra, yaitu Simbolon Tua dan Sigalingging. Simbolon Tua mempunyai lima orang putra, yaitu Simbolon, Tamba, Saragi, Munte, dan Nahampun.
Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antarsesama marga keturunan Nai Ambaton.
Catatan mengenai Ompu Bada, menurut buku “Tarombo Marga Ni Suku Batak” karangan W Hutagalung, Ompu Bada tersebut adalah keturunan Nai Ambaton pada sundut kesepuluh.
Menurut keterangan dari salah seorang keturunan Ompu Bada (mpu bada) bermarga gajah, asal-usul dan silsilah mereka adalah sebagai berikut:
1. Ompu Bada ialah asal-usul dari marga-marga Tendang, Bunurea, Manik, Beringin, Gajah, dan Barasa.
2. Keenam marga tersebut dinamai Sienemkodin (enem = enam, kodin = periuk) dan nama tanah asal keturunan Empu Bada, pun dinamai Sienemkodin.
3. Ompu Bada bukan keturunan Nai Ambaton, juga bukan keturunan si raja batak dari Pusuk Buhit.
4. Lama sebelum Si Raja Batak bermukim di Pusuk Buhit, Ompu Bada telah ada di tanah dairi. Keturunan Ompu bada merupakan ahli-ahli yang terampil (pawang) untuk mengambil serta mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.
5. Keturunan Ompu Bada menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah dairi dan tapanuli bagian barat.
NAI RASAON (RAJA MANGARERAK)
Nama (gelar) putra kedua dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri kedua tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Rasaon. Nama sebenarnya ialah Raja Mangarerak, tetapi hingga sekarang semua keturunan Raja Mangarerak lebih sering dinamai orang Nai Rasaon.
Raja Mangarerak mempunyai dua orang putra, yaitu Raja Mardopang dan Raja Mangatur. Ada empat marga pokok dari keturunan Raja Mangarerak:
Raja Mardopang
Menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga Sitorus, Sirait, dan Butar-butar.
Raja Mangatur
Menurut nama putranya, Toga Manurung, lahir marga Manurung. Marga pane adalah marga cabang dari sitorus.
NAI SUANON (tuan sorbadibanua)
Nama (gelar) putra ketiga dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Suanon. Nama sebenarnya ialah Tuan Sorbadibanua, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai Ttuan Sorbadibanua.
Tuan Sorbadibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra.
Dari istri pertama (putri Sariburaja):
1. Si Bagot Ni Pohan, keturunannya bermarga Pohan.
2. Si Paet Tua.
3. Si Lahi Sabungan, keturunannya bermarga Silalahi.
4. Si Raja Oloan.
5. Si Raja Huta Lima.
Dari istri kedua (Boru Sibasopaet, putri Mojopahit) :
a. Si Raja Sumba.
b. Si Raja Sobu.
c. Toga Naipospos, keturunannya bermarga Naipospos.
Keluarga Tuan Sorbadibanua bermukim di Lobu Parserahan – Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, Tuan Sorbadibanua menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata Si Raja huta lima terkena oleh lembing Si Raja Sobu. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh Tuan Sorbadibanua. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang tiga orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki Gunung Dolok Tolong sebelah barat.
Keturunana Tuan Sorbadibanua berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.
Keturunan Si Bagot ni pohan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Tampubolon, Barimbing, Silaen.
2. Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Nasution.
3. Panjaitan, Siagian, Silitonga, Sianipar, Pardosi.
4. Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede.
Keturunan Si Paet Tua melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Hutahaean, Hutajulu, Aruan.
2. Sibarani, Sibuea, Sarumpaet.
3. Pangaribuan, Hutapea.
Keturunan si Lahi sabungan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Sihaloho.
2. Situngkir, Sipangkar, Sipayung.
3. Sirumasondi, Rumasingap, Depari.
4. Sidabutar.
5. Sidabariba, Solia.
6. Sidebang, Boliala.
7. Pintubatu, Sigiro.
8. Tambun (Tambunan), Doloksaribu, Sinurat, Naiborhu, Nadapdap, Pagaraji, Sunge, Baruara, Lumban Pea, Lumban Gaol.
Keturunan Si Raja Oloan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Naibaho, Ujung, Bintang, Manik, Angkat, Hutadiri, Sinamo, Capa.
2. Sihotang, Hasugian, Mataniari, Lingga.
3. Bangkara.
4. Sinambela, Dairi.
5. Sihite, Sileang.
6. Simanullang.
Keturunan Si Raja Huta Lima melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Maha.
2. Sambo.
3. Pardosi, Sembiring Meliala.
Keturunan Si Raja Sumba melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Simamora, Rambe, Purba, Manalu, Debataraja, Girsang, Tambak, Siboro.
2. Sihombing, Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, Sitindaon, Binjori.
Keturunan Si Raja Sobu melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Sitompul.
2. Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutatoruan, Simorangkir, Hutapea, Lumban Tobing, Mismis.
Keturunan Toga Naipospos melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Marbun, Lumban Batu, Banjarnahor, Lumban Gaol, Meha, Mungkur, Saraan.
2. Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang.
(Marbun marpadan dohot Sihotang, Banjar Nahor tu Manalu, Lumban Batu tu Purba, jala Lumban Gaol tu Debata Raja. Asing sian i, Toga Marbun dohot si Toga Sipaholon marpadan do tong) ima pomparan ni Naipospos, Marbun dohot Sipaholon. Termasuk do marga meha ima anak ni Ompu Toga sian Lumban Gaol Sianggasana.
***
DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)
Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga).
Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut:
“Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;
Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan”
artinya:
“Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput (berakar tunggang);
Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji”
Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah:
1. Marbun dengan Sihotang
2. Panjaitan dengan Manullang
3. Tampubolon dengan Sitompul.
4. Sitorus dengan Hutajulu – Hutahaean – Aruan.
5. Nahampun dengan Situmorang.
(Disadur dari buku “Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987)

Lebih dekat dangan BATAK
Selamat datang. Sarana ini saya bangun adalah untuk memperkenalkan budaya Batak kepada siapa pun terutama bagi anda yang bukanlah orang Batak, pertama. Kedua adalah kepada orang Batak yang tidak memiliki atau memiliki hanya sedikit sekali pengenalan tentang Batak. Dan yang ketiga adalah kepada orang Batak yang sudah mengetahui banyak tentang Batak tetapi mungkin baru pertama sekali mengetahui sesuatu tentang Batak dari tempat saya ini. Akhir kata saya haturkan semoga situs ini bermanfaat banyak bagi anda.
Pillit ma
01 Adat Batak
Dongan di ulaon adat 01
Dongan di ulaon adat 02
Dongan di ulaon adat 03
Dongan di ulaon adat 04
Dongan di ulaon adat 05
Dongan di ulaon adat 06
Dongan di ulaon adat 07
Dongan di ulaon adat 08
Dongan di ulaon adat 09
Dongan di ulaon adat 10
Dongan di ulaon adat 11
Dongan di ulaon adat 12
Dongan di ulaon adat 13
Dongan di ulaon adat 14
Dongan di ulaon adat 15
02 Torsatorsa
Torsa 01
Torsa 01 Surat Batak
Torsa 02
Torsa 02 Surat Batak
Torsa 03
Torsa 03 Surat Batak
Torsa 04
Torsa 04 Surat Batak
Torsa 05
Torsa 05 Surat Batak
Torsa 06
Torsa 06 Surat Batak
Torsa 07
Torsa 07 Surat Batak
Torsa 08
Torsa 08 Surat Batak
Torsa 09
Torsa 09 Surat Batak
Torsa 10
Torsa 10 Surat Batak
Torsa 11
Torsa 11 Surat Batak
Torsa 12
Torsa 12 Surat Batak
Torsa 13
Torsa 13 Surat Batak
Torsa 14
Torsa 14 Surat Batak
Torsa 15
Torsa 15 Surat Batak
Torsa 16
Torsa 16 Surat Batak
Torsa 17
Torsa 17 Surat Batak
Torsa 18
Torsa 18 Surat Batak
Torsa 19
Torsa 19 Surat Batak
Torsa 20
Torsa 20 Surat Batak
03 Pustaha Batak
Laklak 0402b-001
Laklak 0402b-002
Laklak 0402b-003
Laklak 0402b-004
Laklak 0402b-005
Laklak 0402b-006
Laklak 0402b-007
Laklak 0402b-008
Laklak 0402b-009
Laklak 0402b-010
04 Habatahon
Sejarah Batak 01
Sejarah Batak 02
Sejarah Batak 03
Sejarah Batak 04
Sejarah Batak 05
05 Tarombo
Borbor
Pustaha
Di son ma buat hamu surat Batak surat batak







PUSTAHA ILMU BATAK
Dalam pustaha atau katalog-katalog naskah batak terdapat beberapa hal menyangkut ilmu, dari semua ilmu tersebut digolongkan sbb.
1. Ilmu Hitam
Pangulu Balang
Tunggal Panaluan
Pamunu Tanduk
2. Ilmu Putih
Penolak Bala(Pagar)
Azimat
Pencegah Pencurian
3. Ilmu ilmu lainnya
Tamba Tua
Dorma
Porpangiron
Porsili
Ambangan
4. Ilmu Nujum.
5. Ilmu Perbintangan
Pormesa na Sampuludua
Panggorda na ualu
Pehu na pitu
Pormanis na lima
Pane na Bolon
Porholaan
Ari Rojang
Porbuhitan
6. Nujum nujum lainnya
Rambu sipirhas
Panampuhi
Pangharhari
Parmunian
Parombunan (more…)
Tags: , , , , , ,

PUSTAHA A 12332

Übersee-Museum Bremen
Poda ni si aji mamis ma inon
Petunjuk untuk menghancurkan musuh (poda ni si aji mamis) yang digunakan di saat perang (dalam bahasa Batak kuno perang selalu disebut sebagai bisara na godang - "adat yang mulia"). Dikatakan pada akhir halaman pertama dan awal halaman kedua (A3-4) bahwa pustaha ini diuntukkan Guru Habinsaran Hata ni Aji dari Silaga-laga yang dikatakan na so nung talu di bisara na godang - yang tidak pernah kalah berperang. Sebagaimana dapat dilihat dari bahasa dan aksara yang digunakan naskah ini dapat dipastikan berasal dari Toba. Bagi orang yang belum mengenal surat Batak yang asli huruf-huruf berikut perlu diperkenalkan:
ta
ma
wa
Ketiga huruf tersebut merupakan salah satu variasi Surat Batak Toba yang lazim digunakan dalam naskah-naskah Batak.
Pustaha ini dapat dibagi atas beberapa BAB yang semuanya ditandai oleh sebuah bindu (ornamen). Bagian pertama (A1-33) adalah poda ni si aji mamis diikuti oleh poda ni pormamis na lima - ramalan berdasarkan kelima bagian hari (A33-37 dan B3-7), poda ni pehu na pitu - ramalan berdasarkan ketujuh pehu (B8), pangarumai (B9-15), poda ni porsili (B16-22), pinangan ni ari (B22-28), serta porsimboraon - cara pembuatan ajimat (B28-38).
Pustaha berukuran 14,2 x 12,5 cm ini terdiri atas 39 halaman yang ditulisi pada kedua sisi yang dinamakan A dan B. Kulit kayu (laklak) dilem pada dua papan kayu yang berfungsi sebagai sampul (lampak). Ternyata laklak pustaha ini sudah robek sebelum ditulisi sehingga terpaksa dijahit sebagaimana dapat dilihat pada foto ini.
Kedua ujung laklak, yaitu halaman A1 dan B1 direkat pada lampa. Halaman A2, A38, A39, B2 dan B39 dibiarkan kosong.
Berikut ini Anda dapat melihat setiap halaman pustaha tersebut. Naskah asli tersimpan di museum antropologi Übersee-Museum di Bremen, Jerman.

A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A14
A15
A16
A17
A18
A19
A20
A21
A22
A23
A24
A25
A26
A27
A28
A29
A30
A31
A32
A33
A34
A35
A36
A37
A38
A39
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
B10
B11
B12
B13
B14
B15
B16
B17
B18
B19
B20
B21
B22
B23
B24
B25
B26
B27
B28
B29
B30
B31
B32
B33
B34
B35
B36
B37
B38
B39






Logan Museum of Antropology, Beloit WI, USA


PUSTAHA 4301
Dalam Logan Museum of Anthropology di negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat terdapat koleksi kecil dengan beraneka ragam kesenian Batak, termasuk beberapa naskah. Sayang sekali keadaan satu-satunya pustaha koleksi tersebut sangat memprihatinkan. Beberapa halaman sudah hancur dan tidak dapat dibaca lagi, tetapi bagian yang masih utuh memiliki teks dan ilustrasi yang cukup jelas dan rapi. Pustaha Nomor 4301 ini termasuk besar dengan ukuran halaman 28 x 18 cm. Lampak-nya (jilid yang terbuat dari kayu) berukuran 35 x 18 cm. Pustaha ini termasuk dalam koleksi Harley Harris Bartlett (1886-1960), penulis The Labors of the Datoe and Other Essays on the Bataks of Asahan (North Sumatra). Michigan Papers on South and Southeast Asia, 15. Ann Arbor: University of Michigan Press1973. Bartlett adalah seorang antropolog dan ahli tumbuh-tumbuhan yang meneliti di daerah Asahan pada tahun 1917 dan 1927.
Aksara Surat Batak yang digunakan adalah aksara sebagaimana biasa terdapat di daerah Toba. Berikut ini beberapa contoh. Perhatikan huruf /ja/ yang bentuknya persis seperti /da/ yang ditambah sebuah garis horisontal.
ta
ma
sa
da
ja
na
a
ba
lu
Garis horisontal pada huruf /ja/ persis sama bentuknya dengan pangolat (tanda mati). Tanda mati terlihat pada teks berikut ini (huruf terakhir):

baba ni manuk
Dalam teks yang di bawah ini kelihatan huruf /ja/ dalam kontks kalimatnya.
Ketiga "Ahu pangulubalang si bahir bangke darajahon di bulung ni sapuate (atau sada ate?) asa daparap ma dohot si biyangsa panaluwan bunu ma musungku si anu." yang artinya kira-kira "Aku adalah Pangulubalang Si Bahir Bangke (roh yang dipelihara oleh datu untuk menghancurkan musuh) untuk dirajah pada daun Sapuate, yang bila digabung dengan Sibiangsa Panaluan (Sibiangsa Panaluan adalah sejenis pangulubalang yang sangat bahaya) akan membunuh musuhku."
Keterangan yang lebih mendetail mengenai pangulubalang terdapat di buku Johannes Winkler Die Toba Batak auf Sumatra in gesunden und kranken Tagen. Stuttgart 1925 serta Ph. L. Tobing, The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God, 1956. Mengenai Sibiangsa Panaluan lihat Petrus Voorhoeve A catalogue of the Batak manuscripts in the Chester Beatty Library. Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd. 1961.
Seperti biasa dalam dialek hata poda yang digunakan dalam pustaha awalan pasif di- diganti dengan da-. Oleh sebab itu terdapat darajahon dan bukan dirajahon, dan diparap menjadi daparap.
Berikut ini Anda dapat membaca seluruhnya Pustaha 4301. Pustaha tersebut ditulisi pada dua segi yang dinamakam A dan B.

A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A148
A15
A16
A17
A18
A19
A20
A21
A22
A23
A24
A25
A26
A27
A28
A29
A30
A31
A32
A33
A34
A35
A36
A37
A38
A39
A40
A41
A42
A43
A44
A45
A46
A47
A48
A49
A50
A51
A52
A53
A54
A55
A56
A57
A58
A59
A60
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
B10
B11
B12
B13
B14
B15
B16
B17
B18
B19
B20
B21
B22
B23
B24
B25
B26
B27
B28
B29
B30
B31
B32
B33
B34
B35
B36
B37
B38
B39
B40
B41
B42
B43
B44
B45
B46
B47
B48
B49
B50
B51
B52
B53
B54
B55
B56
B57
B58
B59
B60
B61









Surat Batak dan Pustaha



Aksara/huruf Batak atau disebut ‘Surat Batak’ adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Kelompok bahasa sub suku ini mempunyai kemiripan satu sama lain dan sebenarnya adalah cabang dari suatu bahasa Batak tua (Proto Batak). Naskah asli itu sebagian besar berupa pustaha (laklak), sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan kertas. Hampir semua orang Batak yang menulis buku tentang Batak selalu memasukkan satu bab atau bagian bukunya tentang Surat Batak atau paling tidak ia membuat sebuah tabel abjad Batak. Ini menunjukkan mereka bangga akan warisan budaya leluhurnya itu. Tetapi sayang sekali karena kurangnya pemahaman kerap kali salah kaprah dan tidak jelas. Kekeliruan ini akan nyata kalau kita terapkan untuk membaca suatu naskah asli Pustaha. Berani saya bertaruh, pasti akan sulit kita baca, alias membuat kita bingung sendiri. Bahkan dalam buku-buku wajib pelajaran aksara Batak yang dipakai di sekolah di daerah Tapanuli banyak dijumpai kekeliruan ini. Soalnya sekarang bagaimana membenahi ini semua ? Banyak buku bermutu dari pakar asing yang sangat baik bisa dipakai sebagai rujukan. Tetapi masalahnya adalah semuanya ditulis dalam bahasa asing, Jerman atau Belanda. Sekarang ini sudah jarang kita yang menguasainya. Syukurlah beberapa tahun lalu, Dr.Uli Kozok, seorang ahli bahasa kuno (filolog) berkebangsaan Jerman, yang menyunting putri Tanah Karo, telah menulis sebuah buku panduan ringkas Surat Batak yang sangat baik dalam bahasa Indonesia “Warisan Leluhur, Sastra Lama dan Aksara Batak”, 1999.Kozok yang pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (1990-1991) menulis disertasi tentang sastra Batak Ratapan (andung-andung).Dengan buku panduan Dr.Kozok ini diharapkan putra asli Batak yang berminat bisa memiliki bahan acuan yang baik untuk meneliti naskah-naskah tua yang hampir punah, dan masih tersebar di berbagai tempat di luar ataupun di dalam negeri. Ia juga telah membuat suatu font Surat Batak sehingga sekarang kita boleh melakukan pengetikan computer dengan aksara Batak.


Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan tersebar di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000 buah. Bagaimana caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan.Naskah batak yang ditemukan dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat kecil jumlahnya. Perlu dicatat, sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan dialihkan turun temurun secara lisan. Surat Batak hanya dipergunakan untuk ilmu kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah Karo, Simalungun, Angkola juga dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda, mitos, cerita rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah (tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus mengenai silsilah marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya lebih berpangkal pada ego kelompok dan tribalisme.

Kebanyakan naskah berbentuk pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat dari kulit kayu (laklak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim. (lampak) yang lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.Voorhoeve dan L.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :

Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu tanduk, gadam dll)
Ilmu putih (Pagar, Sarang timah, Porsimboraon, dll)
Ilmu lain-lain (Tamba tua, Dorma, Parpangiron dll)
Obat-obatan
Nujum
Dengan perbintangan (Pormesa na sampulu dua, panggorda na ualu, pane na bolon, porhalaan dsb)
Dengan memakai binatang (Aji nangkapiring, Manuk gantung, Porbuhiton dsb)
Nujum lain-lain (Rambu siporhas, Panampuhi, Hariara marsundung di langit, Parombunan dsb)

Disediakan pedoman praktis surat Batak download dalam format PDF:Pedoman Aksara Batak


Minggu, 16 Agustus 2009

Hutasoit
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutasoit yang diberi gelar Borsak Bimbinan adalah anak ke empat atau bungsu dari Toga Sihombing. Menurut Sejarah Toga Sihombing dahulu bermukim di Pulau Samosir kemudian merantau ke daerah Tipang. Tipang kemudian menjadi diabadikan sebagai daerah asal dari keempat Anak Toga Sihombing: Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit kemudian keempat anak Toga Sihombing merantau ke dataran tinggi Humbang. Hutasoit menempati beberapa wilayah di Humbang Habinsaran (Siborong-borong).
Daftar isi[sembunyikan]
1 Asal-usul
2 Submarga Hutasoit
3 Padan dengan Marga lain
4 Tokoh terkenal
5 Catatan kaki
6 Pranala luar

[sunting] Asal-usul
Secara umum Hutasoit menganggap Siborong-borong menjadi bonapasogit. Dari daerah ini mereka menyebar ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara) dan Humbang Hasundutan (Sigumpar, Hutasoit, Lintong Nihuta, Dolok Sanggul- sekarang setelah pemekaran menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan) serta menyebar lagi ke Tanah Dairi Sidikalang. Hutasoit tersebar dari Tipang naik ke dataran tinggi Humbang ke Negeri Lintongnihuta di desa Sigumpar dan Desa Hutasoit. dan ke Negeri Butar dan kemudian ke Negeri Siborongborong, yaitu di Desa Pardomuan dan Desa Siaro/silaitlait. Keturunan keempat borsak ini secara bersamasma tinggal bedampingan di Dataran Humbang. Di Negeri Lintongnihuta keempat borsak itu memiliki desa dan juga di Negeri Siborongborong. Desa-desa di Negeri Lintongnihuta kebanyakan ditempati Lumbatoruan,antara lain Desa Parulohan, Sibntuon, Lumbajulu, Sigompul dan Siguriguri. Desa lain ada desa Hutasoit dan Sigumpar ditempati Marga Hutasoit dan Negeri Silaban di tempati marga Silaban dan Negeri Nagasaribu ditempati marga Nababan. Demikian juga di Negeri Butar,keempat borsak itu ada disana; Butar toruan tinggal Nababan dan Butar dolok tinggal Lumbantoruan, silaban, Hutasoit. Desa di Negeri Siborongborong ditempati Hutasoit antara lain di Lumban Pea, di Pardomuan, di Siaro, di Silaitlait dan di pusat kota siborongborong. Dari Siborongborong Marga Hutasoit menyebar ke Pangaribuan dan Ke Silindung dengan menamakan marga Sihombing (memakai marga Sihombing bukan Hutasoit)

[sunting] Submarga Hutasoit
Pada generasi keenam, Hutasoit dibagi dalam dua submarga, yakni : Sunggu Parbaja dan Parpati Toba.Borsak Bimbinan (Generasi I) anaknya satu diberi nama: O.Raja Ginaung(Generasi II). Anak dari Raja Ginaung juga puna anak satu, namanya: O.Raja Dibabana(Generasi III). Anak dari O.Raja Dibabana juga satu, bernama: O.Lanok Nabolon (Generasi IV). Anak dari generasi ke empat ini baru ada dua, yaitu:Saribugaja dan O.Hundulbatu (Generasi VI). Anak dari O.Hundul Batu ada dua, yaitu: 1. Sunggu Parbaja dan 2. Parpati Toba. Catatan: Keturunan dari Saribugaja tidak diketahui?

[sunting] Padan dengan Marga lain
Hutasoit memiliki perjanjian untuk tidak saling menikah dengan : Naibaho, Sihotang - Marsoit. Sihotang Marsoit adalah yang dilahirkan br Manik istri dari Sihotang. Anak itu diberi nama Marsoit oleh ibu yang melahirannya. Pemberian nama ini adalah sebagai kenangan baginya bahwa Marsoit itu adalah anak yang dikandung dari marga Hutasoit. Hubungan br Manik dengan Hutasoit terjadi ketika Sihotang meninggalkannya. Beberapa tahun kemudian setelah ada hubungan br Manik dan Hutasoit. pulanglah Sihotang ke rumahnya. Demikian juga Hutasoit terpaksa melarikan diri meninggalkan br Manik, karena perkawinan mereka tidak resmi. Sihotang menerima "Langge na do na tubu di porlakna". Langge adalah sejenis tumbuhan yang dapat berkembang sampai diluar perbatasan tanah. Tanaman itu menjadi milik dari pemilik tanah itu, walaupun bukan dia yang menenam. Mengetahui kejadian itu Sihotang Marsoit dan Hutasoit merasa ada hubungan satu darah dan memutuskan tidak boleh kawin kedua marga itu.

[sunting] Tokoh terkenal
Pdt.Dr Justin Sihombing-Hutasoit Ephorus HKBP tahun 1942- 1962.[1]
Manixius Hutasoit, Sekjen P & K dan Bapenas, sekaligus salah satu tokoh Parkindo, berasal dari Sumatera Utara.[2]
Ruyandi Hutasoit, Ketua Umum Partai Damai Sejahtera.[3]
Jansen Humuntal Hutasoit, mantan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan dalam Kabinet Pembangunan IV.[4]
Potsdam Hutasoit, anggota MPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.[5]
Lambok Hutasoit, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia.[6][7]
Abraham Lincoln Hutasoit, Ephorus Gereja Kristen Protestan Angkola[8]


Sejarah batak

Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkar’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.
1833Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.
1833-1834Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak
Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.
Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.
Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakangan “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)
1833-1930Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.
1834ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.
Lyman dan Munson memasuki toba dengan seorang penerjemah, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.
Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.
1834-1838Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.
1838-1884Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi “Direct Bestuurd Gebied”, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar “Regent Voor Her Leven”.
Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.
1843-1845Perbatasan Tanah Batak yang aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.
1845-1847Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.
1848Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.
1857-1861Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.
Misi; gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggunr di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oelh Pangeran Hidayat.
Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.
1861Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.
1861-1907Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga unutuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
1.Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun2.Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.3.Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.4.Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.5.Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.6.Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan 7.kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.8.Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi.9.Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.10.Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.
1863Pendeta Nomensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadaman, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)
1864-1866Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membahwa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.
1867Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar.
Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.
1867-1884Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan “Singgasana Batak Pagan Priest Kings” yang sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang mereka cintai.
Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih2 lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.
Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.
Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).
Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.
1869Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis sebelum Jesus.Amerina Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat beragama.
Menurut Parlindungan, Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.
Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.
Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.
Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk “bawang” , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung.
Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.
1870 M
Peta politik populasi Tanah Batak:
Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.
Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan.
Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.
1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumunkannya ke seluruh penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII, goyang.
Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan infanteri.
1881 M
Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan Detasement Tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi Garnizon Tetap.
Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibagun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.
1882-1884
Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan kerajaan, dan Pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.
Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige yang sudah terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.
1883
Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.
Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik haji ke Mekkah, 1790.
Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.
Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serang infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.
S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.
Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.
Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.
1884-1905 Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.
1884-1907
Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.
1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga.
1907
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka, Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan. Masih perlu didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.
1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.
Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.
Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.
HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.
1923
Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram
1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda.
1945
Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka